Keraton Kanoman
Sebuah pendopo dikelilingi tembok bercat putih, tak terawat. Salah satu sisi gapuranya hanya menunjukkan bekas porselen dari Tiongkok yang pernah ditanamkan di temboknya. Belum lagi coretan dinding yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab ditambah rerumputan tumbuh meninggi di beberapa tempat di halaman. Demikianlah pemandangan yang terlihat begitu menginjakkan kaki di depan gerbang sebuang keraton.
Itu hanya sebagian gambaran dari Keraton Kanoman yang ada di Kota Cirebon. Kondisi kurang baik ini diperparah dengan lokasi yang berada di balik keramaian Pasar Kanoman. Untuk menuju ke keraton, baik mobil maupun becak harus menerobos kerumunan para pedagang.
Tak terbayangkan bahwa tempat itu menyimpan sejarah panjang tentang kepahlawanan, juga syiar Islam, jika tidak menatap baik-baik bangunan utama. Memang tidak sebesar bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta atau Surakarta tetapi masih memancarkan kharisma tersendiri.
Rasa penasaran menggiring langkah merambahi halamannya yang teduh. Jika lebih teliti mengamati, maka akan tampak keistimewaan pagar maupun pintu gerbangnya yaitu berhiaskan piring-piring porselen yang cantik.
Beruntung, saat mengunjungi keraton itu, Warta Kota bertemu dengan putra kelima dari almarhum Sultan Kanoman XI, yaitu Pangeran Raja Mohamad Qodiran yang menjabat sebagai Pangeran Patih Kanoman.
Menurut Mohamad Qodiran, Kesultanan Kanoman ini awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Cirebon. Namun Sultan Banten, Ki Ageung Tirtayasa, kemudian menobatkan dua pangeran dari Putra Panembahan Adining Kusuma (Kerajaan Mataram) untuk memegang kekuasaan di dua kesultanan. Yaitu Pangeran Badriddin Kartawijaya di Kesultanan Kanoman bergelar Sultan Anom dan Pangeran Syamsuddin Martawijaya di Kesultanan Kesepuhan bergelar Sultan Sepuh.
Kesultanan Kanoman diresmikan tahun 1677. "Di antara keraton-keraton lain yang ada di Cirebon, seperti Keraton Kasepuhan dan Keraton Kacirebonan, hanya Keraton Kanoman yang menjadi pusat peradaban Kesultanan Cirebon," tuturnya.
Keraton ini juga dikenal lebih taat dan konservatif dalam memegang adat istiadat dan pepakem. Contohnya tradisi Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul Fitri . Grebeg Syawal intinya adalah ziarah sultan dan keluarganya ke Makam Sinuhun Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara.
Kebiasaan itu sangat berbeda dengan Keraton Kasepuhan, yang dalam sejarahnya masih saudara tua, dan Keraton Kacirebonan. Keraton yang disebut terakhir itu dikenal hanya mempunyai satu sultan atau sultan sepengadegan, yakni Sultan Carbon (abad 18) di mana anak cucu mereka, sesuai keputusan pengadilan Belanda ketika itu, ditetapkan tidak memiliki hak lagi sebagai sultan.
Koleksi museum
Daya tarik utama Keraton Kanoman baru bisa dinikmati ketika memasuki museum yang terletak di sisi kanan bangunan utama. Di bangunan yang tidak terlalu besar itu tersimpan peninggalan-peninggalan keraton, mulai dari kereta kerajaan, peralatan rumah tangga, hingga senjata kerajaan.
Menurut pengamatan Warta Kota, perawatan pada barang-barang tersebut kurang diperhatikan. Dibiarkan berdebu dan lembab sekian lama. Bahkan gedung museum tersebut sepertinya nyaris roboh karena di plafonnya banyak jejak-jejak air akibat bocor.
"Memang kami kekurangan dana dan tenaga untuk mengelola tempat ini. Tidak mungkin hanya mengandalkan dana dari pemerintah. Sebagai penerusnya, tentu kami berusaha untuk menjaganya," ungkap Mohamad Qodiran.
Beberapa koleksi tampak tidak utuh. Di jajaran kereta, paling menonjol adalah Kereta Paksi Naga Liman. Kereta itu, seperti tertera dalam keterangan, dibuat dari kayu sawo pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi oleh Pangeran Losari. Itu adalah kereta kebesaran Sunan Gunung Jati, leluhur Kesultanan Cirebon, yang memerintah 1479 -1568.
Pemberian nama itu berkaitan dengan pahatan kayu di bagian depan yang menggambarkan gabungan bentuk paksi (burung), naga, dan liman (gajah) memegang senjata. Paduan bentuk itu melambangkan persatuan tiga unsur kekuatan di darat, laut, udara dan menyimbolkan keutuhan wilayah.
Keistimewaannya terletak pada bagian sayap patung yang bisa membuka-menutup saat sedang berjalan, juga bentuk rodanya yang berbeda dengan roda pedati biasa. Roda kereta dibuat cekung ke dalam. konstruksi roda seperti itu sangat berguna jika melewati jalanan berlumpur yang basah. Kotoran tidak akan menciprat mengotori penumpangnya.
Kereta yang lain adalah Jempana, kereta kebesaran untuk permaisuri dengan hiasan bermotif batik Cirebon. Kereta berbahan kayu sawo itu juga dirancang dan dibuat atas arahan Pangeran Losari pada tahun yang sama.
Kereta-kereta itu menempati bagian tengah ruangan. Bagian pinggir museum dipenuhi koleksi yang lain. Di antaranya koleksi wayang golek papak, kursi pengantin, gamelan, meja tulis lengkap dengan perlengkapan menulis daun lontar dan ijuk aren yang berfungsi sebagai alat menulis, kotak-kotak termasuk kotak dari Mesir. Di salah satu sudut, bisa dilihat koleksi senjata, mulai dari aneka pedang lokal dan pedang Eropa, keris, senjata api, aneka perisai, dan meriam
Ada pula singgasana Sri Sultan yang terbuat dari gading, berusia lebih dari 700 tahun. Kursi ini dipakai pada awal pemerintahan Kesultanan Cirebon hingga periode Sri Sultan Kanoman VIII. Karena kondisi kursi yang tidak memungkinkan lagi untuk diduduki, maka mulai Sri Sultan Kanoman IX kursi tersebut dimuseumkan.
Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal sebagai Syarif Hidayatullah.
Sayangnya, orang jarang menengok keraton ini, bahkan di musim libur. Masalah klasik, seperti publikasi, promosi tentu jadi biang keladi. Jangankan urusan publikasi dan promosi, untuk urusan pemugaran saja pihak keraton sudah ngos-ngos-an. Perlu upaya kerja sama dengan pihak swasta yang didukung pemerintah, apalagi keraton tersebut adalah salah satu daya tarik Kota Cirebon. Warta Kota Dian Anditya M
Sumber: kompas.com
Rating: 5
0 komentar:
Posting Komentar