Pesona Masjid 500 Tahun Lebih ." Dilihat dari luar, Masjid Merah Panjunan sangat menarik perhatian, terutama bagi orang yang baru pertama kali datang ke Cirebon, Jawa Barat. Warna merah bata mendominasi keseluruhan bangunan yang didirikan pada tahun 1480 ini.
Masjid Merah Panjunan terletak di Kampung Panjunan, kampung pembuat jun atau keramik porselen. Bangunan ini didirikan oleh Pangeran Panjunan yang merupakan murid Sunan Gunung Jati, salah satu dari Wali Songo (Sembilan Wali) penyebar Islam di Jawa.
Menurut risalah kuno Babad Tjerbon, nama asli Pangeran Panjunan adalah Maulana Abdul Rahman. Dia memimpin sekelompok imigran Arab dari Baghdad. Sang pangeran dan keluarganya mencari nafkah dari membuat keramik. Sampai sekarang anak keturunannya masih memelihara tradisi kerajinan keramik itu, meski kini lebih untuk tujuan spiritual ketimbang komersial.
Pangeran Panjunan dimakamkan di Plangon (12 km barat-daya Cirebon). Makamnya merupakan salah satu tujuan ziarah penting di Cirebon, terutama pada 27 Rajab, ketika sebuah upacara tahunan digelar untuk memperingatinya.
Dahulu Masjid Merah Panjunan selain untuk tempat ibadah juga dipakai Wali Songo untuk saling berkoordinasi dalam menyiarkan agama Islam di daerah CIrebon dan sekitarnya. Tempat ini dimanfaatkan pula oleh para murid untuk menimba ilmu.
Sekilas, masjid yang berusia 530 tahun ini lebih mirip surau karena ukurannya yang lebih kecil ketimbang masjid pada umumnya. Hanya mampu menampung sekitar 100 jemaah salat. Pada saat salat dhuhur sehari-hari, hanya sekitar 20 orang bergabung dalam deretan jemaah. Tapi, ini masjid yang hidup. Selain menjadi tempat salat, pada sore hari juga bisa disaksikan seorang guru mengajari anak-anak mengaji. Kemeriahan memuncak pada bulan Ramadan, ketika banyak orang—baik dari dalam maupun luar kota—menikmati takjil, hidangan buka puasa berupa gahwa alias kopi jahe khas Arab.
Meski nuansa Arab tak terelakkan namun ornamen yang ada pada masjid ini sangat kental dipengaruhi oleh seni tradisional Tionghoa. Piring-piring porselen asli Tiongkok menjadi penghias dinding. Semua peninggalan itu bisa ditemui juga di hampir semua keraton di Cirebon dan bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di kota tersebut.
Sebuah legenda menyebutkan, keramik Tiongkok itu merupakan bagian dari hadiah kaisar China. Tak jauh dari masjid itu terdapat kuil Buddha kuno–Vihara Dewi Welas Asih, yang didominasi warna merah juga. Konon, menurut cerita, masjid ini dibangun hanya dalam waktu semalam saja.
Misteri makam
Semula, Masjid Merah Panjunan merupakan musala sederhana yang dinamakan Al-Athyah, artinya 'yang dikasihi'. Pendirian masjid lebih disebabkan oleh karena belum adanya masjid agung di wilayah Caruban selain sebuah tajug sederhana, yaitu Masjid Pejlagrahan yang sampai saat ini juga masih ada.
Oleh karena posisi masjid berada di kawasan perdagangan tempat bertemunya pedagang dari berbagai suku bangsa, bangunan Masjid Merah merupakan hasil perpaduan antara budaya dan agama semenjak masa pra-Islam, yaitu Buddha dan Hindu. Setelah kedatangan agama Hindu dan Buddha ke Indonesia, datanglah agama Islam.
Bangunan lama masjid yang sebenarnya berukuran 20 m x 20 m dan kemudian dibangun menjadi berukuran 150 meter persegi. Pada tahun 1949, di kawasan masjid dibangun pagar Kutaosod dari bata merah setebal 40 sentimeter dan setinggi 1,5 meter oleh Panembahan Ratu (Cicit Sunan Gunung Jati).
Keunikan lainnya dari struktur bangunan adalah bagian atapnya menggunakan genteng warna hitam tanah yang hingga kini masih dijaga keasliannya. Namun sayangnya beberapa keramik yang ada di tembok pagar ada yang sudah dicungkil oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Terutama yang ada pada bagian pagar temboknya.
Di salah satu sisi masjid terdapat sebuah makam yang diberi pagar, namun tidak terlalu jelas siapa yang dimakamkan di situ. Menurut pengurus masjid, Nasruddin (35), ada dua versi cerita tentang apa yang dimakamkan di tempat itu.
Versi pertama mengatakan bahwa itu adalah makam seorang yang cukup disegani di daerah Panjunan. Sedangkan versi kedua menyatakan, yang dikuburkan di tempat itu adalah benda-benda yang pernah dipakai untuk membangun masjid. "Kami sendiri tidak pernah membongkar makam tersebut. Pendiri mesjid ini tidak dimakamkan di sini," jelasnya.
Mesjid Merah dibangun separuh terbuka. Ada dua ruangan yang dipisahkan oleh tembok dan pintu kecil. Salah satu ruangannya dibuka hanya dua kali dalam setahun, yakni saat salat Idul Fitri dan Idul Adha. Ruangan itu ditutup karena di dalamnya masih terdapat mimbar kuno. Alasan tidak dibuka pada hari biasa adalah untuk menghindari tangan-tangan jahil yang akan merusak dinding.
Dian Anditya Mutiara
Sumber: http://www.wartakota.co.id/
Rating: 5
0 komentar:
Posting Komentar