Benteng Kuto Besak: Simbol Kejayaan Darussalam." Langit cerah di atas Kota Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (26/2) sore itu, turut memayungi kegembiraan belasan anak yang sedang bermain bola di halaman Benteng Kuto Besak. Sekali-sekali bola melesat dan berhenti setelah mengenai dinding tembok.
Benteng Kuto Besak merupakan bangunan peninggalan sejarah pada masa Kesultanan Palembang Darussalam. Pada abad ke-17 Masehi itu, kebudayaan Islam hadir dan terus mengakar, terutama pasca-kemunduran Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-13 Masehi.
Mengacu catatan sejarah di Balai Arkeologi Kota Palembang, benteng yang proses pendiriannya memakan waktu 17 tahun (1780-1797) ini dibangun atas prakarsa Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) I. Namun, Sultan Muhammad Bahauddin, putra SMB I sekaligus ahli waris takhta Kesultanan Palembang Darussalam, yang akhirnya membangun hingga meresmikan penggunaannya pada 21 Februari 1797.
Retno Purwanti, arkeolog dari Balai Arkeologi Palembang, menyebutkan, benteng sebenarnya merupakan bangunan keraton Palembang Darussalam. Sultan Bahauddin menamakannya Keraton Kuto Besak atau Keraton Kuto Tengkuruk, yang panjangnya 288,75 meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99 meter, dan ketebalan dinding 1,99 meter.
Benteng Kuto Besak (BKB) dibangun untuk menggantikan keraton lama, Benteng Kuto Lamo, yang disebut juga Keraton Kuto Tengkuruk atau Keraton Kuto Lamo, yang berlokasi persis di samping kiri. Keraton Kuto Tengkuruk lalu menjadi rumah tinggal residen Belanda. Saat ini, Keraton Kuto Tengkuruk difungsikan menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Posisi BKB yang dibangun di tepi Sungai Musi membujur dari arah hulu ke hilir (barat ke timur). Salah satu ciri khas terletak pada keberadaan tiga bastion (istilah untuk konstruksi batu).
”Benteng Kuto Besak satu-satunya benteng di Indonesia yang dibangun pribumi,” kata Retno.
Menurut Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, ketahanan bangunan Keraton Kuto Besak sudah teruji selama Perang Menteng (1819) dan Perang Palembang (1821). Tahun 1821 itulah Keraton Kuto Besak dikuasai Belanda.
”Ketika Belanda menghancurkan Keraton Kuto Tengkuruk tahun 1823, Keraton Kuto Besak tetap kokoh berdiri sampai sekarang,” ujar Bambang.
Tidak leluasa
Walau berdiri kokoh, warga Palembang dan wisatawan dari luar daerah dan mancanegara saat ini hanya bisa menyaksikan BKB dari luar. Benteng yang dikelola Kodam Sriwijaya itu telah dialihfungsikan menjadi Kantor Kesehatan Kodam Sriwijaya dan rumah sakit.
Warga tak bisa leluasa masuk ke dalam benteng karena pintu masuk dijaga ketat aparat. Sejumlah warga yang dimintai pendapat sebenarnya menginginkan BKB dikelola pemerintah saja.
”Tujuannya agar rakyat seperti saya bisa memasuki benteng. Tentu bukan untuk hal negatif, tetapi agar lebih dekat menyaksikan simbol kebesaran masa lalu,” kata Hamdani (35), warga Kelurahan Sekanak, yang sedang menemani anaknya bermain bola di depan benteng.
Sejarawan dan budayawan Djohan Hanafiah juga menilai pengembalian BKB dari militer kepada pemerintah sangat tepat. Untuk mewujudkan itu, Djohan bersama sekelompok masyarakat pernah berjuang mengembalikan bangunan itu kepada negara.
”Sepuluh tahun silam saya dan pemerhati sejarah sepakat mengembangkan Benteng Kuto Besak menjadi pusat informasi dan pariwisata, serta simbol sejarah kesultanan,” katanya.
Setelah sampai di tangan Panglima TNI, perjuangan Djohan justru terhenti. Menurut dia, pemerintah terbentur soal biaya perawatan. Dengan kata lain, pemerintah daerah mempersilakan pihak militer mengelola BKB.
Merawat dan menjaga
Saat dimintai tanggapannya, Kepala Penerangan Kodam Sriwijaya Letnan Kolonel M Noor menjelaskan, alih fungsi BKB menjadi Kantor Kesehatan Kodam Sriwijaya dan rumah sakit tidak dilakukan secara sembarangan dan bukan untuk kepentingan militer semata.
Noor membantah tudingan bahwa pihak Kodam Sriwijaya tidak merawat BKB. ”Setiap sudut bangunan selalu dipelihara dan dijaga dengan baik.”
Apalagi, lanjut Noor, beberapa bangunan benteng difungsikan menjadi rumah sakit umum yang juga melayani publik. Secara tidak langsung, masyarakat Palembang sebenarnya bisa menikmati benteng itu secara utuh.
Boni Dwi Pramudyanto
Sumber: kompas.com/
Rating: 5
0 komentar:
Posting Komentar