Penemuan Gua Hunian di Bukit Jimbaran


Temuan Gua Hunian Manusia di Kampus Universitas Udayana Bukit Jimbaran." Kampus Universitas Udayana Bukit Jimbaran merupakan bagian kawasan karst yang terbentuk dari sedimentasi koral atau karang laut di sisi selatan Pulau Bali dilanjutkan dengan pengangkatan pada masa akhir Miosen - awal Pliosen sehingga menghasilkan topografi yang bergelombang. Formasi Perbukitan Karst Jimbaran termasuk Formasi Selatan yang pembentukannya sejaman dengan Nusa Lembongan, Nusa Ceningan dan Nusa Penida. Satuan Formasi Selatan dapat dikorelasikan dengan Formasi Blambangan di Jawa Timur dan Formasi Akas di Pulau Lombok yang tersusun atas bantuan gamping terumbu, setempat napal dan sebagian berlapis, berhablur ulang, dan berfosil (Purbo-Hadiwidjojo, dkk, 1998).

Adanya formasi karst tersebut membawa dampak terbentuknya ceruk dan gua yang jumlahnya berlimpah di Kawasan Perbukitan Jimbaran. Hal tersebut dipicu oleh batuan karst yang sifatnya mudah larut oleh air sehingga menimbulkan rongga yang saling berhubungan. Dalam proses jutaan tahun, rongga tersebut menjadi ceruk dan gua dengan hiasan atau bentuk batuan kapur yang beragam.

Definisi gua (cave) yaitu liang atau lubang yang menjorok ke dalam (vertikal atau pun horisontal) sehingga seseorang dapat merasa aman dari panas terik matahari dan terlindung dari limpasan air jika terjadi hujan. Ceruk (rock shelter) adalah dinding batuan yang bagian atasnya lebih menjorok ke luar sehingga hanya sebagai payung peneduh. Oleh masyarakat, ceruk sering disebut juga sebagai gua payung (Bawono, 2006).

Selain rongga dan ceruk, lorong-lorong sungai bawah tanah juga merupakan potensi yang dimiliki kawasan karst. Hal tersebut yang memaksa air permukaan tidak pernah tampak karena memenuhi lorong-lorong bawah tanah sehingga membawa pengaruh terhadap persediaan air permukaan. Kegersangan atau tandus merupakan salah satu ciri bentang lahan bentukan asal karst sehingga hanya ditumbuhi tanaman perdu dan semak belukar. Tanaman-tanaman tersebut akhirnya menjadi spesifik termasuk binatang yang menghuni di kawasan karts tersebut.



Kondisi dan Potensi Tinggalan Gua Karst di Kampus Bukit Jimbaran

Sebagian masyarakat di sekitar Kampus Universitas Udayana Bukit Jimbaran sudah mengetahui keberadaan gua yang tersebar di daerah kampus, tetapi terkait dengan penamaan dan catatan tentang potensi tinggalan purbakala yang terkandung, belum pernah diketahui secara umum. Gua-gua yang tersebar di komplek Kampus UNUD Bukit Jimbaran searah dengan alur Tukad (sungai) Sama yang melingkar dari Jembatan Kampus Hukum (sekarang) hingga Timur Udayana Lodge menuju Utara. Selain itu terdapat satu buah ceruk yang terletak di Utara Pura Widya Saraswati UNUD yang aliran sungainya difungsikan sebagai bendungan atau chekdam. Gua dan ceruk tersebut yaitu: Gua Saka I, Gua Saka II, Gua Timpalan, Gua Petani Merah Putih, Gua Celeng-celengan, Gua Cilik, Gua Kekep, dan Ceruk Chekdam. Di antara 7 gua dan 1 ceruk tersebut, Gua Saka I, Gua Saka II, Gua Timpalan dan Gua Kekep yang memiliki potensi sumberdaya arkeologi. Tanpa mengesampingkan 3 gua dan 1 ceruk sisanya, kemungkinan besar tempat tersebut juga terdapat indikator peninggalan arkeologi.

a. Gua Saka I

Gua Saka I terletak pada 08?47'31,1"LS - 115?10'08,9"BT atau sebelah timur Pasraman Udayana yang sekarang difungsikan sebagai pura. Pura tersebut dibangun sekitar tahun 1999 dengan beberapa pelinggih dan tembok penyengker yang membatasi bagian depan gua. Penamaan gua ini terkait adanya hiasan tiang (column) yang merupakan pertemuan antara stalaktit dan stalakmit di tengah ruangan. Kedalaman gua mencapai 8 meter dengan lebar mulut gua mencapai 12 metar dan tinggi gua mencapai 8 meter. Gua Saka I menghadap ke selatan dan berhadapan langsung dengan Tukad Sama. Posisi gua berada di atas sungai sehingga sulit terjangkau limpasan air sungai ketika terjadi pasang. Di sebelah timur dinding gua sekitar 3 meter dari lantai gua, masih terdapat ceruk yang tidak begitu luas.

Temuan permukaan yang pernah ditemukan di gua ini antara lain: pisau batu, alat serut kerang, alat lancipan (kerang, tulang, dan taring), fragmen gerabah, fragmen tulang binatang, fragmen kerang gastropoda, fragmen kerang pelecypoda dan gigi binatang. Gua ini dianggap memiliki temuan yang beragam dari jenis alat batu, alat tulang, alat kerang, gerabah dan fragmen temuan ekofak lainnya (Bawono, 2005).

Temuan terlihat melimpah ketika dilakukan ekskavasi di halaman gua pada tahun 2006. Temuan penting pada ekskavasi tersebut yaitu kapak genggam, serpih batu, mata panah batu, serut kerang, lancipan kerang, alat tanduk, sudip tulang, lancipan tulang, muduk point, serut tulang, lancipan taring, fragmen gerabah, fragmen tulang, fragmen cangkang kepiting, fragmen kerang gastropoda dan pelecypoda, fragmen gigi dan geraham, hiasan kerang dan fragmen arang (Bawono, 2006a).

Temuan muduk point (lancipan muduk) merupakan lancipan ganda yang terbuat dari tulang dengan kedua ujungnya dibuat meruncing dan pernah juga ditemukan di Gua Selonding pada penggalian tahun 1961 oleh R.P. Soejono (Soejono, 1963). Muduk point tersebut memiliki persamaan dengan temuan sejenis dengan alat-alat tulang dari Sulewesi Selatan, Pegunungan Seribu, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Australia (Soejono, 1984; Prasetyo, 1999; 2002a; 2002b). Berdasarkan temuan muduk point tersebut, diperkirakan Bali memiliki hubungan dengan daerah-daerah tersebut terutama asal nenek moyang atau leluhur yang sama.

b. Gua Saka II

Gua Saka II terletak di sebelah barat Gua Saka I yang berjarak sekitar 30 meter tepatnya pada koordinat 08?47'31,1"LS - 115?10'07,8"BT. Gua Saka II terdiri atas dua buah gua yang saling berdekatan yang kemudian disebut sebagai Gua Saka IIA (terletak di atas) berukuran 4 x 3 x 2,5 m dan Gua Saka IIB (terletak di bawah Gua Saka IIA) memiliki ukuran 5,5 x 7 x 4 m. Kedua gua tersebut menghadap ke selatan yang berhadapan langsung dengan Tukad Sama yang posisi sungainya terletak jauh di bawah gua.

Kedekatan dengan Gua Saka I yang memiliki temuan beragam memberi dampak terhadap gua ini, sehingga diperoleh temuan kapak batu, batu pemukul, serpih batu, alat serut kerang, alat lancipan kerang, fragmen gerabah, fragmen tulang, kerang pelecypoda, dan fragmen gigi binatang (Bawono, 2005; 2006a).

c. Gua Timpalan

Gua Timpalan terlatak di sebalah barat Gua Saka II yang berjarak sekitar 200 m atau pada posisi 08?47'33,7"LS - 115?10'02,2"BT. Gua Timpalan merupakan tipe gua horison dengan kedalaman gua lebih dari 12 meter dan lebar 4,5 meter. Tinggi mulut gua sekitar 1,75 meter dan mencapai 2,5 meter pada bagian tengah gua. Gua ini menghadap ke selatan dengan kemiringan permukaan tanah yang sangat curam pada bagian depan mulut gua. Bagian lantai gua terdapat sedimentasi yang tebal dengan beberapa runtuhan batuan kapur dari beberapa dinding dan langit gua. Gua Timpalan terletak di atas anak Tukad Sama atau di sebelah utara lapangan sepakbola UNUD. Penamaan Gua Timpalan terkait dengan keberadaan Gua Saka I yaitu sebagai teman (bali: timpal ) atau berarti menemani Gua Saka I.

Temuan yang diperoleh ketika melakukan survei permukaan meliputi: serpih batu, lancipan batu, alat kerang, fragmen gerabah, fragmen tulang, fragmen kerang gastropoda, fragmen kerang pelecypoda, dan fragmen gigi binatang (Bawono, 2005; 2006a). Sedangkan temuan pada saat dilakukan ekskavasi pada tahun 2006 yaitu kapak genggam, serpih batu, lancipan batu, alat serut dari kerang, muduk point, lancipan taring, fragmen gerabah, fragmen tulang, fragmen kerang gastropoda dan pelecypoda, fragmen gigi dan geraham binatang dan fragmen arang (Bawono, 2006a).

d. Gua Kekep

Gua ini terletak di sebelah timur Gua Saka I yang masih searah dengan aliran Tukad Sama. Terletak pada koordinat 08?47'30,0"LS ? 115?10'14,5"BT. Gua ini menghadap ke selatan dengan panjang lorong lebih dari 15 m, lebar gua 9 m, dan tinggi gua mencapai 3 m.

Berdasarkan hasil survai ditemukan fragmen gerabah, gigi hewan, dan fragmen geraham binatang. Temuan arkeologi yang sedikit kemungkinan disebabkan karena lantai gua tertutup oleh sedimen tanah yang masuk pada saat hujan melalui atap gua yang runtuh sehingga sisa-sisa artefak tidak terlihat pada saat survei permukaan lantai gua tersebut (Bawono, 2005).

Pada masa penjajahan Jepang, Gua Kekep juga difungsikan sebagai tempat persembunyian penduduk setempat dari kejaran tentara Jepang karena lokasi yang tersembunyi dan memiliki ruang yang luas sehingga mampu menampung puluhan jiwa (Bawono, 2006b). Kondisi ruangan di dalam gua yang pengap dan panas pada saat itu akhirnya melahirkan penamaan gua ini yaitu Kekep.

e. Gua dan Ceruk Lainnya

Potensi gua dan ceruk lain yang dimaksud adalah keberadaan Gua Petani Merah Putih, Gua Celeng-celengan, Gua Cilik, dan Ceruk Chekdam. Gua Petani Merah Putih terletak di sebelah selatan Gua Saka I (bersebrangan sungai) dan menghadap ke barat. Gua ini memiliki pintu yang sangat rendah dan ketinggian gua yang rendah pula sehingga ketika masuk harus berjalan jongkok. Gua Celeng-celengan merupakan gua horisontal yang terletak di timur Gua Saka I atau barat Gua Kekep dengan lebar sekitar 2 m, panjang gua sekitar 8 m, dan tinggi 2,5 m. Posisi Gua Cilik terdapat di sebelah timur Gua Celeng-celengan dan terletak di atas tebing. Gua Chekdam terletak di utara Pura Widya Saraswati UNUD atau di sebelah timur chekdam.

Pada saat dilakukan survei permukaan, hanya Gua Petani Merah Putih yang ditemukan tinggalan arkeologi berupa fragmen tulang dan fragmen gigi binatang tetapi jumlahnya sangat sedikit. Gua dan ceruk lainnya tidak ditemukan tinggalan arkeologi (Bawono, 2000a). Walaupun kesemua gua dan ceruk tersebut sangat kurang akan data temuan tinggalan arkeologi, bukan berarti bahwa gua tersebut tidak memiliki potensi kandungan benda arkeologi. Kesemua gua dan ceruk tersebut masih dalam satu cakupan kawasan yang sama dan kemungkinan terdapat akses pemanfaatan lain (selain sebagai hunian) oleh manusia masa lalu.

Potensi tinggalan arkeologi di gua-gua dan ceruk tersebut merupakan sumberdaya yang tidak ternilai harganya walaupun tidak semua gua dan ceruk di Kawasan Perbukitan Jimbaran memiliki potensi temuan arkeologi. Keseluruhan temuan mencerminkan aktivitas dan perilaku manusia purba khususnya pada budaya mesolitik hingga preneolitik. Temuan alat batu, tulang, dan kerang merupakan karakter hasil budaya masa mesolitik, sedangkan gerabah merupakan hasil budaya neolitik yang lebih dikenal dengan revolusi budaya dari tradisi berburu dan meramu tingkat lanjut (masa mesolitik: 30.000 - 3.000 SM) beralih menuju tradisi bercocok tanam (masa neolitik: 3.000 SM - awal masehi). Pemanfaatan gua sebagai tempat hunian ternyata berlanjut hingga masa penjajahan Jepang terutama di Gua Kekep.


Potensi Pengembangan Berbagai Keilmuan

Melihat potensi temuan arkeologi pada beberapa gua di kawasan kampus UNUD Bukit Jimbaran, membuka peluang untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai tempat studi lapangan yang terbuka (laboratorium lapangan). Terlebih lagi lokasi tersebut masuk dalam kawasan konservasi UNUD yang melindungi bentang lahan karst beserta flora fauna yang hidup di wilayah tersebut.

Studi lapangan yang diterapkan dapat mencakup berbagai bidang studi keilmuan. Sebagai contoh keilmuan arkeologi dan kesejarahan dapat melihat temuan purbakala di beberapa gua tersebut beserta bentang alam atau lingkungan yang menjadi pendukungnya sebagai bagian dari kajian yang spesifik. Studi temuan tulang dan gigi binatang dapat dijadikan kajian tentang bahan pangan masa lalu serta sejarah domestikasi binatang di Bali. Demikian juga temuan tersebut ditambah dengan temuan cangkang kerang dapat dilakukan studi paleontologi dan biologi khususnya terkait pola subsistensi manusia masa lalu di kawasan karst. Termasuk juga kajian makluk hidup yang ada sekarang di kawasan karst.

Speleologi atau ilmu tentang gua dapat dikembangkan di Bali dengan potensi gua yang melimpah wilayah ini. Kajian speleologi meliputi: kajian speleogenesa (mulajadi gua), speleokronologi (urutan kejadian dari pembentukan hingga perkembangan gua), speleomorfologi (bentukan di dalam gua), biospeleologi (biota gua), sedimentologi dan mineralogi gua serta iklim-mikro gua. Aspek air dan sungai bawah tanah dapat dijadikan kajian hidrologi yang lebih mengkhususkan terhadap air permukaan dan bawah tanah, termasuk keberadaaan, sirkulasi, distribusi, sifat-sifat fisika dan kimia serta interaksinya terhadap lingkungan (Samodra, 2001: 81).

Kajian kerekayasaan juga merupakan potensi pengembangan kawasan karst, terlebih lagi UNUD sudah membangun sebuah bendungan di utara Pura Widya Saraswati. Karst atau batu gamping memiliki rongga atau perguaan di dekat permukaan merupakan masalah utama bagi kestabilan bangunan sipil yang dibangun di atasnya. Kajian studi lain dari berbagai keilmuan juga dapat mengambil manfaat dari temuan-temuan arkeologi di beberapa gua tersebut beserta lingkungan pendukungnya.

Kajian antarbidang dalam satu kawasan akan menambah kasanah keilmuan. Bukan hanya bidang studi yang bersangkutan, tetapi juga bidang studi lain yang memiliki kompetensi yang sama yaitu terkait idealisme penelitian. Sehingga akhirnya kasanah kajian terhadap gua-gua hunian dan lingkungannya di Kampus Bukit akan lebih multidisiplin dan lintas bidang.

Jadikan Areal Konservasi Karst yang Ideal

Bentang lahan bentukan asal karst merupakan kawasan yang terbentuk secara spesifik dan berbeda dengan bentang lahan bentukan lainnya. Bali sangat beruntung memiliki Kawasan Perbukitan Karst Jimbaran karena tidak setiap daerah memiliki bentuk bentang lahan tersebut. Namun sangat disayangkan, pemerintah tidak menyisihkan sebagian wilayah Bukit Jimbaran sebagai wilayah konservasi yang memiliki nilai geografis dan biologis yang spesifik. Bahkan telah banyak lahan yang rusak karena penguasaan lahan oleh investor untuk perumahan, hotel dan lokasi tujuan wisata.

Walaupun demikian, masih ada setitik harapan untuk mengonservasi lahan karst di kawasan Bukit Jimbaran terutama di Kampus Universitas Udayana Bukit Jimbaran yang telah mencanangkan areal konservasi Universitas Udayana. Sudah selayaknya jika pihak Kampus Universitas Udayana turut mengambil sikap terhadap potensi lingkungan karst yang sangat tak ternilai harganya, terlebih lokasi tersebut terletak di dalam lingkungan Kampus Bukit Jimbaran. Sehingga perlu adanya kekuatan hukum (SK Rektor) untuk wilayah konservasi tersebut, jika Universitas Udayana peduli terhadap pengembangan keilmuan.

Jika konservasi karst mampu dijalankan oleh Kampus Universitas Udayana, maka ada 4 hal penting yang akan dapat diperoleh yaitu:
1. menjamin terpeliharanya proses ekologi karst,
2. menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistem kawasan karst,
3. pelestarian pemanfaatan sumberdaya alam, dan
4. pelestarian situs budaya, khususnya gua hunian yang telah ada sejak ribuan tahun lalu.

Selain empat hal tersebut, keberagaman nilai kawasan karst juga terlihat jika lokasi tersebut dikonservasi secara berkelanjutan. Nilai-nilai kawasan karst yang dapat dimanfaatkan selain nilai keilmiahan juga nilai ekonomi (pariwisata) dan nilai humaniora (estetika,sosial buadaya, religi, pendidikan, olahraga dan pertahanan).

Jika ditinjau dari Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral nomor 1456 K/20/MEM/2000 tanggal 3 Nopember 2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst, bahwa bentang alam karst merupakan sumberdaya alam yang tidak terbarukan (unrenewable), karena pembentukannya membutuhkan waktu yang sangat lama. Fenomena alam yang unik dan langka serta nilai-nilai penting lainnya bagi kehidupan dan ekosistem mengharuskan kawasan karst wajib dikelola secara bijaksana. Pengelolaan ditujukan untuk mengoptimalkan manfaat karst yang berwawasan lingkungan. Sasaran pengelolaannya adalah meningkatkan upaya perlindungan kawasan karst yang memiliki nilai penting dalam melestarikan fungsi hidrologi, proses geologi, keberadaan flora-fauna serta nilai sejarah dan budaya.

Akhirnya, besar harapan kita bahwa sebagian wilayah karst di Kampus Universitas Udayana Bukit Jimbaran dapat dimanfaatkan sebagai daerah konservasi lingkungan sekaligus laboratorium alam untuk menambah wawasan keilmiahan tentang kajian karst di Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Daftar pustaka:
* Bawono, Rochtri Agung, 2005. Laporan Survei Gua Saka I, Gua Saka II, dan Gua Timpalan di Bukit Jimbaran-Bali. Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UNUD. Denpasar.

* - ,2006a, Laporan Penelitian: Penelitian Arkeologi Prasejarah di Kawasan Perbukitan Jimbaran dan Sekitarnya. Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UNUD. Denpasar.

* - ,2006b, Gua-gua Hunian di Perbukitan Jimbaran: Sejak Prasejarah sampai Zaman Jepang, Makalah pada Seminar Nasional Seri Sastra, Sosial, dan Budaya Fakultas Sastra UNUD pada 15 Desember 2006.

* Prasetyo, Bagyo, 1999, Persebaran Alat Tulang di Wilayah Asia Tenggara Daratan dan Kepulauan, Pertamuan Ilmiah Arkeologi VIII, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Yogyakarta.

* - , 2002a, ?The Bone Industry?, Gunung Sewu in Prehistoric Times, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

* - , 2002b, 'The Distribution of Bone Tools Tradition', Gunung Sewu in Prehistoric Times, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

* Purbo-Hadiwidjojo, MM, H. Samodra dan T.C. Amin. 1998. Peta Geologi Lembar Bali, Nusatenggara. Skala 1 : 250.000. Edisi Kedua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung.

* Samodra, Hanung, 2001, Nilai Strategis Kawasan Karst di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung.

* Soejono, R.P, 1963, Indonesia (Regional Report), Asian Perspektives, VI/1-2, Hal: 34 -43.

* - , 1984, Sejarah Nasional Indonesia I, Edisi Ke-4, Balai Pustaka, Jakarta.


Dikutip dan update judul oleh situs Explore IPTEK

Rating: 5

0 komentar: